Selasa, 30 Desember 2008

Maskuri Brothers Translation Team In Action


Yang lagi nampang setengah telanjang ini adalah Big Bos Maskuri Brothers, aku dan yang tidak setengah telanjang adalah staf MB bukan MIB lho…(2 staf personil inti Maskuri Brother Translation, yg selalu kerja malam dan tidur pagi subuh sampe siang, aku n Heri) dan tamu tetap, si Edi arek Administrasi
(kalo gak salah), the best friend of Ilham yang pernah marah waktu tak tatarik iuran urunan beli tv di kos2an Bu Pur, padahal tiap hari nonton dan tidur di kos2an Gubeng Jaya II/25 (betulkah alamatnya ini?) Sori Edi aku gak ngundhat undhat lho, Cuma ngingatkan aja..

Her..aku yakin kamu gak nyimpan foto ini, bahkan Maskuri…(our ex Bos), juga gak punya. So kalo mau download silahkan, tapi tolong ya…kalo ada foto2 lain yang aku ga punya, kirimkan aja ke emailku.

Eh konco..kemaren Tatok (masih ingat?) ngebel aku, kangen – kangenanlah. Tapi waktu ta tanyain tentang you semua, dia bilang gak ada yang kontak sama sekali. Eh, kapan2 reuni yuk!? Kita dolan sama2 di rumah Bu Pur, kita sungkem ke Ibu Kos kita yang baik hati telah menyisakan kamar untuk kita tempati…he..he…meski bayar.

Semoga blog ini tidak berubah jadi Friendster..Habis, isinya jadi foto – foto ae sih. Mau gimana lagi, tukang ketikku (he..he..sory Edi,…ini Edi lain lho bukan Edi yang di foto itu) yang kebetulan temen kuliah, juga lagi sibuk melototin buku krn UTS, terpaksa garapan dari aku jadi terbengkelai. Ya gak papa… tadi barusan aku ambil 2 Cerpen dari mes Edi, tinggal edit trus besok2nya posting…

Rabu, 05 November 2008

Mahasiswa Forever


Pukul 17.45. Hpku bergetar, dan waktu kuangkat dan kulihat nomor yang muncul berkode Jakarta, cuma tidak nama nama. Siapa ya, begitu aku ucapkan salam…langsung deh aku kenali suara khas, loghat Medunten (maaf orang kampungku kalo menyebut Madura dengan bahasa halus jadi, Medunten).

Dalam keramaian tawa dan teriakan temen – teman kuliahku aku nekad ngobrol sama sobat lama yang jauh tapi terasa dekat .. Dedi. Sayang suaranya, meskipun masih mantap dan berisi tetap kalah dengan suara teman – temanku yang lebih mantap dan lebih berisi.

Semoga Dedi memakluminya… Ya..apa boleh buat, kalo teman teman semua sudah kelar dengan S1 nya bertahun – tahun silam, aku justru baru saja mulai di semester tiga. Tapi tetep ada hikmahnya kok, BEBERAPA TAHUN SEMESTER LAGI, AKU AKAN BISA KKN LAGI KAWAN!!! He..he..he..,eh kalo ada yang punya koleksi foto – foto lama di Sukorejo, tolong dibagi ya?! Thankstrimssuwun!

Ikbal..trims komene…betul hidup adalah perbuatan, sedikit narsis ya ben, yang penting tidak terlalu lalu…kan semua ada hikmahnya. Ya, paling aku bisa ngaca n instrospeksi dan last, aku jadi ada semangat baru.

Cok, sumbang tulisan ato cerpenmu ya di sini…jangan hanya komentar, biar semakin rame!

Sayang, sampe sekarang aku gak tau rimba kordes kita si Kom Kom... Ada yang punya info ta, yang lebih misterius lagi...Kyai Demak Mafudhon dan Teguhpun lenyap seperti ditelan bumi.

Minggu, 02 November 2008

FOTO - FOTO MASA LALU 2


Dipantai ini ..(aku bener2 lupa namanya…kita pernah habiskan waktu setengah hari bersama – sama, mencoba melepas penat, hilangkan kalut dan jenuh karena jauh dari rumah, kampong halaman dan pacar or bojo…he..he…he… Masih pada ingatkah?

FOTO - FOTO MASA LALU


KKN Unair XVI, Sukorejo Udan Awu, Blitar...Moh. Iqbal, Indah Dwi E, Alis Muntono, Dyah Rudiyanti, F. Teguh. S, Ralita Wulandari, M.Nur Qomari, Golda Lidya. A, Mafudhon, Sihar Ramses S. Rahmad (Ucok)ML. Deddy Prihartono, Asmara Dewi, Jemmy Tria, Atik Ismarya, Dwinanto HB. ayo kontak lagi yuu, gak pingin main ke Sukorejo ta biar kena Udan Awu atau ke rumah pak Subari?...

Senin, 27 Oktober 2008


Sekali dalam hidupku injakkan kaki di Bali...Ya, sampe sekarang belum keturutan lagi. Tolong yang punya kenangan sam denganku, kita berbagi yukk...SMA Negeri I Cepu Th 90/91 Roni Kristiawan, Nunuk Apriyani, cewek satunya lupa..Suwandi, Eko Heri Priyantono, aNgatman, Dudung Wiratmoko, Aku..dan Ali Sodikin

Kamis, 23 Oktober 2008

Orang - Orang Durhaka


Oleh : Alis Muntono
Cerpen ini adalah Cerpen kedua yang kutulis dalam Bahasa Indonesia. Terpaksa saya publikasikan lebih dulu karena dokumen cerpen yang pertama masih belum ketemu. Di muat di Majalah Liberty 1846, 1 – 10 Agustus 1994


Tidak! Aku tidak akan pernah membiarkan orang menghina Wartini istriku. Kalau masih bisa diingatkan aku akan mencoba memperingatkan mereka dengan menjelaskan bahwa yang dilakukan istriku bukanlah perbuatan kotor seperti yang mereka sangka. Tapi jika masih memandang rendah pada profesi Wartini aku tak segan-segan menampar mulutnya, menendang perutnya ataupun memukul dagunya; aku tak kan menyesal telah melakukan walau dia temanku sekalipun. Bukankah kemarin aku telah membikin babak bundas Paimin di terminal? Karena dia telah telah menyebut profesi istriku untuk yang ketiga kalinya didepan orang banyak, sedang aku telah memperingatkannya dua kali. Mungkin dia pikir aku tidak akan tega melakukan itu semua hanya karena dia sering memberiku rokok. Untung ada yang melerai perkelahian kami, kalau tidak mungkin kepala Paimin sudah kubuat berantakan dengan kunci inggris.
Wartini! Nama itu selalu memberiku gairah. Aku tidak akan pernah bosan menyebutnya setiap kali aku mulai mengayuh becak. Wartini adalah perempuan yang paling aku cintai dari sekian perempuan yang pernah terlahir di dunia ini setelah ibuku. Namun sayang sekali aku tidak dapat membahagiakannya. Dan setiap kali aku menyadari, segeralah datang bertubi-tubi penyesalan menyesakkan dadaku. Dada Supardi, seorang pengayuh becak yang selalu bernasib malang. Dan buntutnya, aku akan mengutuk diri sendiri karena telah menelantarkannya.
Seandainya waktu bisa diulang, tentu aku tidak akan melakukan apa yang telah aku lakukan sepuluh tahun yang lalu. Sebuah kesalahan besar telah aku buat dalam sejarah hidupku.
Pagi hari kira-kira pukul sembilan, Wartini mampir ke gubukku dalam perjalanan pulang dari mengantar sarapan untuk bapaknya yang juga sedang mencangkul diladang. Aku dibuat bingung karna tanpa kutahu sebab-musababnya tiba-tiba dia terisak. Tanpa mencabut cangkul yang masih tertancap ditanah, aku segera menyusulnya. Tapi begitu berada didekatnya aku tak dapat melakukan apa-apa. Bahkan sepatah katapun untuk menenangkannnya pun tak keluar dari kerongkonganku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus dan akan kulakukan, sehingga akhirnya dia berbicara juga walaupun masih terisak menangis.
“Kita takkan bisa bersama lagi kang.”
“Apa?”Aku semakin bingung.
“Kemarin Lik Suro melamarku. Maksudku melamarkan anaknya, Parman.”
”Ayahmu menerimanya?” tanyaku memastikan. Ya, tanpa dijawab pun aku telah tahu. Wartini Cuma menganggukkan kepalanya seolah dia tahu aku tak butuh jawabannya.
“Tidak War, itu tidak boleh terjadi. Aku takkan membiarkan kamu jatuh ketangan orang lain walaupun ayahmu memperbolehkan,” kataku lirih tapi kurasakan sendiri kemantapannya.
“Kang pardi mau melamarku juga?”
“Tidak itu bodoh namanya. Bukankah Ayahmu telah menerima Parman? Kita minggat saja dari kampung ini.”
“Apa?” Tanya Warti setengah menjerit.
”Cuma itu yang bisa kita lakukan, jika kita masih ingin bersama. Kita minggat dan memulai hidup dikota dengan bekerja apa saja, setelah beberapa tahun kemudian kita sowan keorang tuamu. Kita sungkem kepada mereka dan mempersembahkan seorang cucu yang lucu dan menggemaskan. Aku yakin mereka akan memaafkan kesalahan yang telah kita perbuat.”
Wartini terdiam sesaat mungkin sedang mencari kebenaran dari ucapanku.
“Aku tidak memaksamu War. Kau punya hak untuk menolak ajakanku jika memang itu terbaik untukmu.”
Wartini masih tetap diam. Tapi kini dia menatap tajam ke arahku. Aku merasa tatapan matanya menembus relung hatiku dan menanyakan kesungguhanku. Sesaat kemudian dia menganggukkan kepalanya dan berucap,”Baik kang aku ikut kamu.”
Tak terkira kegembiraanku saat mendengar keputusan yang kuanggap paling baik itu. Sedikit pun aku tidak m,engira bahwa keputusan Wartini itu sangat kusesali di kemudian hari.
Berbekalkan uang hasil penjualan seekor sapi satu-satunya harta yang kumiliki, hasil keringatku buruh angon selama dua tahun sama Dhe Marto, kami berangkat meninggalkan desa kelahiran, Aku sedih juga walaupun sudah tak ada siapa-siapa lagi yang memberatkan hati untuk pergi selain makam kedua orang tuaku. Aku sudah tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi sejak aku berusia sepuluh tahun. Sejak ayahku menyusul ibu yang meninggal karena melahirkan aku. Mereka tidak meninggalkan apa-apa selain nama Supardi yang hingga kini masih kupakai. Ayah telah menghabiskan semuanya di meja judi dan di kamar-kamar perempuan binal.
Tahun-tahun permulaan telah dapat kurasakan suasana kota yang tidak bersahabat. Pekerjaan yang benar-benar kami harapkan tak kunjung kudapat, sementara perut-perut kami minta untuk diisi setiap hari. Berangsur-angsur uang bekal kami dari kampung. Menipis. Penghasilan dari hasil menjadi kuli batu tidak banyak membantu. Kami terus saja merasa kekurangan walau telah membanting tulang mulai dari pagi hingga petang bahkan kadang-kadang sampai malam. Keadaan kami tetap tidak berubah sampai akhirnya seseorang menawariku sebuah becak untuk kusewa sekaligus kubeli.
Cobaan demi cobaan datang menimpa silih berganti. Tak terasa usia perkawinan kami yang tak direstui telah mencapai dua tahun. Kami mulai digelisahkan oleh tidak adanya tanda-tanda akan lahir seorang bayi dari rahim Wartini. Padahal sebenarnya kami harus bersyukur karena seandainya ada bocah di tengah-tengah kami akan semakin membuat bertambah tinggi uang yang kami butuhkan. Tapi karena tuntutan batin dan keinginan untuk hidup seperti layaknya sebuah keluarga, kami tak bisa pungkiri keinginan untuk menggendong seorang bocah. Dan bukankah itu juga merupakan salah satu kenginan yang pernah aku lontarkan kepada Wartini dulu?
Penderitaan belun berakhir. Pada suatu malam, saat aku pulang karena telah larut malam ; sebuah hiace putih menabrakku, menghancurkan becak yang belum lunas. Dan yang paling menyakitkan lagi mobil keparat itu tidak peduli dengan nasibku. Dia langsung kabur begitu selesai membuatku bersimbah darah terkapar tak sadarkan diri. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain terkapar. Ya, aku benar-benar terkapar selama hampir enam bulan penuh. Dan selama itu pula tubuhku tak tersentuh oleh tangan seorang dokter.
Enam bulan bukanlah waktu yang singkat untuk sekedar berbaring makan dan tidur. Dalam keadaan seperti itu tak sedikit pun terlintas dalam benakku betapa sulit dan sakitnya Wartini merawat dan menghidupiku. Sedang seorang lelaki seperti akupun merasa berat melakukannya. Aku baru sadar setalah mendengar pengakuan Wartini atas kebohongan yang selama ini telah aku percayai sepenuhnya. Wartini telah melacur. Begitu mendengar pengakuannya sebuah tamparan keras kulayangkan ke pipinya. Setelah itu aku terdiam, bingung. Aku tak tahu apa yang sedang berkecamuk di benakku saat itu. Aku baru sadar akan kesalahanku setelah tak kusaksikan butiran bening keluar dari kedua bola matanya. Sedang aku tahu betul betapa halus dan betapa tak dapat disakiti hatinya. Wartini akhirnya terisak pula setelah aku memeluk, menangis dan memohon maaf padanya.
Sejak itu aku selalu berusaha untuk tidak membuatnya sedih. Aku turuti keinginannya sejauh aku bisa memenuhinya. Bahkan aku mengabulkan permintaan untuk mendapatkan seorang bocah dari benih laki-laki lain. Tak ada pilihan karena ternyata aku benar-benar tak mampu. Supardi tak lagi segesit dan sekuat dulu lagi. Supardi tak dapat lagi membecak sepanjang siang, Supardi telah pincang.
**
“Becaknya nganggur?” Tanya seorang lelaki tua mengejutkanku yang sedang terkantuk-kantuk menunggu datangnya rezeki. Aku tertegun sesaat. Ah…tidak aku tidak akan pernah lupa wajah tua yang ada dihadapanku ini. Walau warna putih rambut dan keriput wajahnya membawa banyak perubahan.
“Bisa mengantar saya Cak?” ulangnya melihat aku hanya termangu.
“ O..eh, iya. Bisa Pak, kemana?”
“ Apotik Mahkota berapa?”
“Limaratus,” jawabku pendek.
“Siapa yang sakit pak?” tanyaku setelah beberapa meter meninggalkan tempat semula .
“ Istri saya Cak. Sudah tiga minggu ngamar disini.”
“Bapak bukan orang daerah sinikan?” aku bertanya memancing sekaligus memastikan.
“Saya dari Blora, Jawa Tengah. Disana peralatan belum memadai. Jadi ya… dibawa kesini.”
Aku semakin yakin jati diri lelaki tua ini, tetapi semaki tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kesempatan ini telah lama sekali kutunggu. Tapi sayang tak ada keberanian dihatiku. Dan memang ini juga yang menjadi penyebab kandasnya keinginanku dan Wartini.
“Di dekat sini ada WC umum nggak Cak?”
Akhirnya terbuka juga jalan keluar. Aku tidak akan sia-siakan kesempatan ini.”Ada pak, tapi harus mutar kembali,” aku diam sejenak untuk menenangkan debur jantungku yang tak menentu,
“Kalau bapak tidak keberatan, bagaimana kalau mampir kerumah saya saja.”
Cepat kuseberangkan becakku ke sebelah kanan dan kemudian masuk ke gang dua setelah laki-laki tua itu menerima tawaranku. Semakin dekat dengan rumahku aku semakin gugup. Ah, biarlah terjadi apa yang semestinya terjadi.
“Mari Pak, silakan masuk.”
Laki-laki itu tidak menjawab ajakanku, dia malah menatap tajam ke arahku. Sudah tahukah siapa sebenarnya aku?
“Mari pak!” aku mengulangi ajakanku yang kedua kalinya. Sambil melangkahkan kaki mendahuluinya. Sejenak kulihat keterkejutan di wajahnya sebelum menjawab, ya.
Begitu memasuki rumah aku melepas capil dan kacamata yang mungkin telah membuatnya lupa siapa aku.
“Masih ingat saya Pak?” dengan suara serak dan gemetar aku bertanya.
Laki-laki itu kembali memandang tajam seperti tadi dan tiba-tiba rona wajahnya berubah, merah seolah seperti akan membakar kedua matanya yang menatapnya dengan tatapan sayu.
“Supardi?!... Bajingan kau!”
Begitu dia selesaikan kalimatnya secepat itu pula aku jatuhkan tubuhku kelantai dan mencium kakinya.
“Mana anakku keparat?!” dengan suara menggelegar dia membentakku.
“Kang Pardi ya didepan?” Wartini bertanya dari belakang. Dia pasti mendengar keributan yang terjadi.
“Ada apa Kang?”
Aku yakin Wartini terkejut melihatku bersimpuh dibawah kaki seseorang yang mungkin telah dia lupakan.
“Kau Wartini?!... Bukankah kau yang semalam…”

Orang

Rabu, 22 Oktober 2008

Kenangan di Surabaya


Aku yakin kanca - kanca sing ning gambar iki saiki pada tuek kabeh! Ana sing wis duwe anak, termasuk aku, ana sing urung rabi...sing terakhir iki sing kebarus! Tuwek ga payu - payu!

Senin, 29 September 2008

Cerita pendek keduaku ini (masih berbahasa Jawa) mengambil seting daerah asal saya wilayah Randublatung, Blora dan juga seperti di cerpen pertama, aku adalah perantau di Kalimantan. Sebuah angan – angan limabelas tahun silam yang akhirnya jadi kenyataan sekarang. Bahkan sekarang bukan hanya perantau tapi memang talah menetap di Kalimantan.


KALAH LAN MENANG

Panjebar Semangat, 1 Januari 1994
Dening: Alis Muntono
Bis jurusan Randu – Cepu wis kebak penumpang. Hawa panas jam sewelas awan kecampur ambu kringete penumpang nambahi rasa sumpeg lan jengkel. Para penumpang sing wis kawit mau ning njero bis wiwit padha grundelan. Lan malah ana kang misuh - misuh barang. Nanging sapa sing dipisuhi, lha wong sopire wae isih klepas - klepus ngematake keluk rokok ing sacedhake bakul rambutan.
Sawise manceb ceb kekehan penumpang bis kang tak tumpaki wiwit tleser-tleser ninggalaki terminal. Hawa seger kang mlebu liwat cendhala nyuda sethithik rasa panas sing ora mekakat.
Randublatung, limalas taun kepungkur durung ana bis kaya ngene iki. Aja maneh bis, sedheng kol omprengan wae susah golek-golekane. Siji-sijine angkutan sing paling gampang ya mung sepur sing tekane ajeg wae telat. Dadi yen arep ning Cepu rekaasa yen arep culik, ora nginep.
“Tindak pundi mas?” kondektur wiwit narik karcis.
“Randu”
“Tiyang pinten?”
“Setunggal,” wangasulanku karo ngulungake dhuwit limang atusan salembar.
Limalas taun pancen waktu sing ora sedhela. Ning rasane kok kaya lagi rong wulan utawa telung wulan kelakon. Apa pancen amarga ora ana kang dak kapangi lan ngapangi aku? Iku bisa wae. Nanging tak kira ora mung kuwi thok sebabe. Limalas taun kepungkur aku lunga nggawa ati tatu lan ati kang murub. Nganti kawetu tekadku ora bakal midakake sikilku mane ing tanah kelahiranku iki. Nanging sapa sing bisa nemtokake nasibing manungsa?.
Wektu kuwi wong sak kampung geger nalika weruh aku gelut karo Mardiyanto ning wetane bale desa. Pancen kedadeyan kaya ngono kuwi wis makaping-kaping, ora mung lagi sepisan iki. Nanging ya lagi saiki musuhku tak gawe pangewan-ewan ing sak ngarepe wong akeh. Mangka perkarane mung pe sepele wae. Bengi kuwi aku lan Endah mulih nonton kethoprak saka bale desa. Lagi, wae mlaku kira-kira rongatus meteran saka bale desa aku ketemu karo Mardiyanto. Dheweke ngendheg lakuku. Ya ning sakngarepe raiku dheweke ngelokake Endah prawan murahan sing gelem digawa ngalor ngidul karo sapa wae. Sing luwih nglarakake atiku dheweke ngelokake aku bocah bodho amarga gelem karo sisane dheweke. Meshti wae aku muntab, nanging isih tak tahan. Apamaneh bareng aku mambu minuman keras saka ababe. Nanging Mardiyato ora bisa digawe becik. Dheweke malah coba kurang ajar karo Endah lan ngomong ora karu - karuwan. Aku kang duwe watak brangasan ora bisa ngempet maneh. Tanpa maelu pamenggake Endah, Mardiyanto tak ruket, tak tendhang, tak jotos. Wiwitane dheweke pancen bisa ngimbangi, nanging sapa sing bisa ngalahake aku sing pancen wis kulina adu jotos? Apa maneh dheweke setengah mabuk.
Sedhela wae papanku gelut wis kebak dening wong amarga pambengoke Endah. Nanging wong-wong kuwi padha ora wani nulungi Mardiyanto. Amarga wis padha ngerti sapa aku? Joko Utomo, anake wong dhugdheng sing disungkani wong sak Banyu Urip. Wong-wong kuwi mung nguwasake lan mubeng gawe kalangan. Iki kebenaran kanggoku amarga aku bisa ngajar Mardiyanto sakkatogku tanpa wedi yen dheweke bakal mlayu. Aku lagi nglereni anggonku milara Mardiyanto sing ora bisa sambat maneh kuwi bareng weruh Bapakku miyak kalangan. Aku meneng wae , paling-paling arep ngajak mulih.
Tanpa ngendikan apa-apa Bapak nyedhaki aku. Bareng wis cedhak, dumadakan wae sikil lan tangane Bapak wis kumlawe nyampluk uwang lan dhadhaku. Ora nganti dipindho maneh aku sing wis kentekan daya nggeblak ngathang-ngathang. Antarane rasa kesel lan lara sing tak rasakake aku isih kober mikir geneya Bapak kok malah ngajar aku? Apa merga weruh Endah ning sacedhakku? Amarga pancen Bapak nate nglarang aku srawung raket karo Endah. Kanthi sisa-sisa tenaga sing isih ana aku nyoba tangi, nanging durung nganti aku kasil Bapak wis ndugang raiko sak bantere. Aku ora bisa ngrasakake apa-apa maneh, kabeh malih peteng. Bareng wis eling, sepisanan sing tak weruhi pasuryane Ibu sing kebak eluh lagi mangku sirahku. Banjur Mbak Endang sing lagi ngelapi getih ing irung lan pilinganku nganggo banyu anget. Durung nganti ganep pikiranku, tak rungu Bapak nggedhor lawang kamar lan ngakon aku lunga saka omah. Embuh karana daya apa dumadakan aku ngadeg saka dipan. Tanpa maelu Ibu lan Mbak Endang kang nyoba nggondheli aku cepet mbukak lawang lan metu saka kamar. Mung siji sing ana ning ati aku kudu lunga saka omah kene wektu iki uga.
“Randhu, terakhir !” abane kondektur nyupet angen-angenku. Agahan tak juput tas gedhe saka sangisore jok. Kanthi rada rekasa aku metu saka bis sing kebak penumpang. Mudhun saka bis wis dipapag dening tukang becak lan ojek sing padha nawakake tenagane. Aku gedheg. Kanthi jangkah alon-alon aku mlaku ngalor saurute dalan sangarepe pasar sing wiwit sepi amarga jam rolas kliwat sethithik. Sawise tekan protelon salore pasar aku mandheg mampir ning musholla cilik kulon dalan.
Wis dadi pakulinanku wiwit rong taun kepungkur, ing endi wae yen wis wektune sembahyang aku mesthi leren, nindakake kuwajibanku. Pakulinanku iki wiwit aku srawung raket karo pak Abdul Azis, ulama asal jombang sing wis netep ning Balikpapan. Ya amarga pak azis uga sing ndadekake aku gelem mulih menyang tanah jawa, sawise limalas taun ora tau kirim kabar.aku sadar yen apa sing tak tindakake wani ma rang wong tuwa biyen kleru banget.
Sawise mbayari ojek tak gelak jangkahku nuruti kareping ati sing wis kumudu-kudu tekan omah.apa bapak lan ibu padha kuwarasan, apa Mbak Endang isih manggon sak omah karo Bapak lan Ibu ?.Yen ora banjur Bapak karo ibu kancani sapa ? Pitakon-pitakon kuwi dumeling terus ning kuping.
Lagi wae entuk sajangkah sikilku mlebu regol omah mripatku meruhi sawijining wong lanang sing wis rambut putih lagi maprasi pager luntas. Wong tuwa kuwi menthelengi aku sajak kaget dene aku mlebu ora uluk salam.
“Lik Mardi?” aku lagi kelingan ten wong tuwa kuwi pangone Bapak sing wis ngenger wiwit aku umur limang taun.
“Sinten nggih ?” Lik mardi durung bisa ngeling-eling aku, ketara dheweke isih kaya wong bingung.
“Masa lali Lik ? Aku joko”.
“Joko ?”
“Iya, Joko Utomo !”
“Mas Joko ?!” bareng wis weruh karo mlayu dheweke ngruket aku terus nangis ngguguk.
“Apa ta Lik, kok nangis kaya bocah cilik wae”
Lik Mardi ngeculake pangrangkule
“Bapak ana ?”
“O…..ra, ora ana” wangsulane gugup.
“Ning endi ?”.
“Wis, wis ndang cepet mlebu omah dhisik.ora ilok durung njujug omah kok takon werna-werna.” Lik Mardi ora mangsuli pitakonku malah ngangkat tasku digawa mlebu.
”Wis Lik dekek ning kamar ngarep wae aku tak ning mburi dhisik, kosong ta kamar ngarep ?”.
Aku ora nunggu wangsule Lik Mardi amarga aku wis kebelet selak kepengin memburi.lagi wae tekan pawon,ndadak…..
“Lho! Lik sawi ta iki ?” aku langsung bisa nengeri wong wadon sing nyaponi jogan pawon kuwi, amarga dhewe ke emake endah.lan pancen rupane mirip banget karo Endah.
Lik Sawi, kaget sauntara.dumadakan rupane malih pucet.
“Mas joko ? Ka…Kek..kapan dugine ?” pitakone gugup lan gemetar.
“Lagi wae kok lik,” wangsulanku karo mbukak lawang kiwan.
Metu saka kiwan Lik Sawi wis ora ana ning pawon.mesthine wae wis mulih amarga pegaweyane wis rampung. Lik Sawi mono pancen serig rewang nih omah kene, apamaneh yen lagi acara trus masak sing rada akeh. Kamar-kamar tek leboni kabeh. Ora ana wong sing isa tak temoni, Bapak, Ibu, lan Mbak Endang kabeh ora ana. Malah Lik Mardi uga ora ana ning omah. Gek padha ning endi ta wong-wong kuwi. Mengko gek . ……? Ah ora! Ning pancen ana rasa sujana ing atiku. Kelingan omongane Lik Mardi mau, lan gugupe Lik Sawi nalika sepisanan weruh tekaku. Mesthine ana sing ora beres kedadean ing omah kene.
Aku wiwit ora jenjem, ning njero omah samene gedhene iki ijen Najan iki omahku dhewe nanging rasane kok asing banget. Kuwi tak kita amarga aku kulina manggon ing kamar sing ciyut sasuwene ning parantuan. Tak deleng jam tembok ing ruang tamu nuduhake angka telu kurang sepuluh, mesthine wis mlebu wektu asar.ateges aku wis ngenteni meh rong jam luwih.
Durung nganti aku mudhun saka dhipan sawise sholat asar aku krungu swara watuk saka njaba kamarku. Cepet tak lempit sajadahku.mesthi iki bapak sing teka, aku isih apal karo watuke.
Bapak wis ngenteni ngarep kamar. Aku ora bisa kumecap apa-apa, meneng, mung nyawang wong tuwa sing isih katon gagah ing ngarepku iki. Panyawange bapak tajem….ah kaya panyawange limalas taun kepungkur nalika arep ngajar aku, Apa Bapak isih duka ?.
“Ngapa Kowe mulih ?” sidane Bapak sing luwih dhisik miwiti.
Tanpa bisa ngucap apa-apa maneh aku langsung nubruk wong tuwa ing ngarepku iki lan ngrangkul sukune. Lan ora tak bendng maneh tangisku ambrol.
Nanging kuwi ora suwe amarga kanthi cepet bapak ngangkat aku banjur ngrangkul ruket banget. Sing ndadekake aku kaget bareng tak rungu tangise Bapak ing sacedhake kupingku. Bapak muwun?
“Sepuranen Bapak nang” sepisan maneh Bapak sing ndhisiki ngendikan.
“Ah, mboten. Bapak mboten lepat, kula ingkang lepat ageng Pak. Keng putra ingkang kedah ngaturaken kalepatan” aku wiwit nguwasani kahanan.
“Lungguha sing kepenak Bapak arep crita”.
“Ah, mangke kemawon Bapak dereng siram ta?”. Tur malih………”
“Ora. Kowe kudu ngerti kedadeyen sabenere ko. Amarga aku wis suwe banget nunggu wektu kaya iki. Aku ru mangsa dosa gedhe karo kowe” Bapak nglereni anggone rembugan karo unjal ambegan.
“Ibumu wis ora ana . Kira-kira sepuluh taun kepungkur.sawise kok tinggal dheweke tansah lara-laranen. Dene mbakyumu Endang melu bojone ing kudus”.
“Kowe mau ketemu Sawi?”.
Aku manthuk.
“Dheweke gantine Ibumu ”.
“Bapak?!” aku kaget banget ukarane kang pungkasan kuwi.
“Dawa critane Ko. Sadurunge kowe lunga saka omah kene, sawi wis arep dadi Ibumu. Kuwi kabeh saka karepe suwargi dhewe. Amarga dheweke wis ora bisa dadi wanita sejati. Lan ibumu uga sing nari karo sawi. Nanging wektu kuwi Sawi nulak, amarga wedi karo kowe. Mulane aku lan ibumu menging kowe sambung raket karo Endah. Nanging jebul kowe ora bisa dituturi, nganti ana kedadeyan ing cedhak bale desa kae. Wektu kuwi aku kaya kesetanen, aku rumangsa getun nduweni anak sing ora bisa diatur wong tuwa. Nanging sawise kuwi aku rumangsa dosa gedhe, geneya aku ora bisa ngalah karo anakku dhewe? Mulane saiki sakarepmu. Kowe isih nganggep aku wong tuwa apa ora. Aku manut le”.
“Sampun pak, mboten sisah dipikir nemen-nemen. Dospundi kemawon kula ingkang lepat. Amargi kula tiyang enem ingkang murang tata wantun kalih tiyang sepuh. Lajeng sakmenika Endah wonten pundi ?”
“Dheweke wis ora ana. Nglalu amarga rumangsa salah gedhe lan isin”
Mung swara pisambat lan panggresah sing kawetu.
***




.

Cerpen Pertamaku

Ini adalah cerpen pertamaku yang dipublikasikan di JB, sebuah majalah mingguan berbahasa jawa. yang terbit di Surabaya. kalo ingat aku masih sering senyum... Bagaimana kaget dan gembiranya waktu ada pak pos ngantar no bukti ke rumah sebagai pemberitahuan kalo cerpenku telah dimuat. Dan saking senengnya...honor menulis pertamaku yang tak seberapa menjadi tak penting lagi.... Jaya Baya...terimaksih banyak kamu telah banyak membantu.

AKU

Jaya Baya 7 Februari 1993

Dening : Alis Muntono

Aku jaka umur wolulas taun luwih sethithik, luwih rolas taun. Najan rada tuwa nanging jare kanca – kanca aku aku isih ketok enom ketimbang embahku. Temenan kuwi, pancen aku isih ketok enom ketimbang umurku. Resepe ?! Amarga aku ora tau methentheng yen ngadepi masalah apa wae. Santai – santai saja, kuwi prinsipku. Ning ora merga kuwi sing ndadek ake aku durung mengku sawijining pawestri. DPR, Durung Payu Rabi jare kanca – kanca. Uga ora kok aku iki ora kepingin. Suwalike kepuuuingiin buanget! Nanging arep kepiye maneh yen sikon ora ngakon. Sakjane wis wis kaping enem aku meh rabi. Neng ana ana wae alesane wurung. Sing sepisanan bapake sing sing ora setuju. Sing ping pindone emake seng ora setuju, ping telu embahe, ping pat pak dhene, ping limo paklike, ping enem tanggane. Kabeh alesane padha: aku durung kerja njur bojoku arep tak pakani opo?!! Jare aku bocah mbambung pegaweyane nglanthung saba turut lurung. Jare aku bocah ucul pegaweyane ngalor ngidul, kaya pak tani kelangan pacul. Jare aku bocah bloon pegaweyane ngetan ngulon kaya pak dhalang kelangan blangkon. Jare aku bocah …..ah mbuh, mbuh, mbuh…….

Saiki ngrembug masalah profesi. Lulus SMEA aku umur wolulas taun. Rampung lulusan aku langsung coba coba golek gaweyan. Rong taun ngalor ngidul, mlebu metu tanpa entuk asil. Pancen tak akoni yen bab pengalaman kerja aku nul puthul, nanging yen pengalaman golek kerjaan aku dhuwe sak gudang. Rong taun gagal aku lunga merantau. Setaun neng Jakarta, rong taun ning Surabaya, setaun setengah ning Kalimantan. Mulih saka perantauan ora nggawa dhuwit babarpisan, malah dadi tangisan nalika tekan omah. Patang taun setengah kepungkur nalika aku mangkat, awakku gothot lemu, bareng muleh ora nduwe otot, kuru. Rumangsa gagal ning perantauan aku duwe pikiran arep wiraswasta ning omah. Wiwitane dodolan cilik – cilikan kayata : pitik, bebek, banyak, mentok lan sak endhok – endhoke pisan. Asile lumayan seminggu isa entuk telung puluh ewu, patang puluh, malah kadhang – kadhang entuk seket barang. Ning ya kuwi ora nganti rong wulan emak wis ora duwe ingon – ingon babarblas gusis ora nyisa, kabeh tak lego menyang pasar. Ning aku wong gemi, ora seneng hura – hura. Dhuwit asil dodolan pitik tak tukokake mesin tik. Barang sing banget tak impi – impi wiwit aku lungguh ning bangku SMP. Amarga aku pancen aku cita – cita dadi pengarang sing kondhang. Sabanjure aku wiwit ngarang, ngarang apa wae sing bisa tak karang. Asile? Saben sepuluh karangan sing tak kirimake mung siji sing dimuat. Aku ora nglokro, karangan – karangan sing gak dimuat tak klumpukake. Sapa ngerti mbesuk – mbesuk redakture lali banjur gelem muat yen tak kirimake maneh. Amarga asil saka ngarang durung maremake aku duwe pikiran anyar maneh. Kepengin dodolan. Ning saiki ora cilik – cilikan maneh. Nalika wong saomah padha turu nglipus, sapine bapak tak geret metu siji. Tak giring karo Dhe Sapino blantik sapi tangga desa. Mulih saka pasar aku wis ngedhengkreng ning dhuwur jok Yamaha butut. Na….ya wiwit kuwi aku dadi tukang ojek sing nyambi ngarang. Eh, ora dhing pengarang sing nyambi ngojek. Nganti saprene iki….

Rada aras – arasen sepedha motor tak lakokne, alon – alon. Wis limang dina iki pundhakku sing sisih tengen udunen. Rasane ora karu – karuan. Apamaneh yen dienggo thenguk – thenguk, mula nadyan rada males aku tetep metu. Tekan terminal jam wolu sewelas menit kliwat rong detik setengah. Wis ana wong papat sing njanggol: Jiman, Jamin, Parjo karo Kamto. Sepedha tak jagang ning paling lor, antrian nomer lima. Durung nganti mudhun saka sepedha Jamin nyedhaki aku.

“ Li, aku ana perlu sethithik. Ayo!”.

Aku ora nulak nalika tanganku digeret mlebu warunge yu Sarmi.

“ Yu sarapan loro, karo kopine sisan! ”.

Aku meneng wae. Nanging sakjane kudu ngguyu, amarga ngene iki rak pantese dheweke sing mbayari. Ning sapa sing ora kenal karo Jamin?.

“ Ayo Li, dipangan! Aja dipandheng thok,” Jamin ngabani.

Aku ra nggawa dhuwit lho Min.”

“ Ah gampang kuwi.”.

Aku mesem kecut. Dene Jamin malah ngakak rumangsa yen tak sindhir.

Sawise bubar mangan.

“ Li, aku saiki lagi….”.

“ Butuh dhuwit,” Aku cepet munggel guneme.

“ He-eh.”

“ Kanggo?”

“ Anakku sing nomer telu kenek tipes. Ngamar ning rumah sakit.”

Aku unjal ambegan landhung. Kanca siji iki pancen seng paling sregep utang nyang aku. Aku ora maido pira ta pengasilane tukang ojek. Apamaneh dheweke ngingoni anak papat sing kabeh doyan sega lan gelem dhuwit. Lha wong aku sing bujangan wae ora cukup yen mung njagakake saka ngojek thok, apa maneh Jamin?

“ Aku ana dhuwit seket Min. Mbuh cukup mbuh ora kanggo kowe. Ning aja kabeh sing sepuluh tak nggone isi dhompet.”

Akhire aku ora tegel karo Jamin. Patang lembar puluhan tak dudut saka dhompet. Jamin mesem bungah.

“ Min! Kae lho ana penumpang siji,” Jiman nyusul mlebu warung.

“ Sik, sik pira yu?”

“ Wis Min, ndang diangkat!”

“ Gak gak Li, tak bayarne. Anu wae piye Li, angkaten kowe wae aku tak keri – keri gak apa – apa.“

Dheg! Meh wae aku tiba keshandung watu nalika weruh calon penumpangku. Apa …dheweke? Tenan mesti dheweke aku ora pangling.

“ Ayo Li ndang diangkat! Tanggamu dhewe, Bogorejo jarene,” Kamto mbengok bareng weruh aku metu saka warung.

“ Murni? Kok esuk?” mung kuwi kang metu saka lambeku sing biasane paling crewet yen weruh bocah wedhok sing rada melek.

“ Mas Ali?” pitakone sajak kaget banget.

“ Ayo tak terke!”

Sepedha tak bradhat banter gak maelu kanca – kanca sing pating cruet kaya bethet. Bareng wis rada adoh saka terminal sepedha tak alonke.

“ Anakmu endi Mur? Kok ijen wae?”

“ Apa mas Ali durung ngerti critane?”

Aku meneng wae senajan aku wis ngerti kahanane Murni saknyatane. Aku pengen Murni dhewe seng nyritakake.

“ Apa mas Ali durung weruh critane? Aku pisah sak durunge Elwi lair. Mas Utomo kawin mung nuruti kekarepane wong tuwane thok. Dheweke ora dhuwe sethithik wae rasa tresna marang aku. Lan dheweke uga ora kepengin nyoba”

Murni panggah kaya pitung taun kepungkur. Terus terang ora tau nutup nutupi apa wae kang lagi dialami utamane marang aku.

“ Yen mas Ali kepriye critane?”

“ Aku? Ha ha ha ….Meh wae aku dadi wong edan sawise kowe di boyong bojomu neng Malang.”

“ Kuwi salah sampeyan dhewe.”

“ Salahku?”

“ Iya. Nalika mas Ali tak jak lunga saka desa kene mas Ali malah nulak.”

“ Ha ha ha…. Kawin lari? Aku rak wes ngomong ta, yen kawin lari kuwi wis kesel, Mur. Apa awakmu gak…. Aduhh!”

Durung rampung olehku ngomong ndadak tangane Murni nggablok pundakku sisih tengen pas ning udune. Aku ora bisa ngempet lara sing ngaget kuwi, lan tanpa bisa tak kendhaleni maneh setir sepedhaku oleng menggok ngiwa ngarah jurang sacedhake tretek. Lan…..

Pancen yen wis dikarepake dening sing Kuwasa apa bae bisa kelakon. Contone awakku dhewe, aku sing kejegur jurang sing jerone limalas meteran isih bisa ambegan maneh. Lan malah Murni sing tak boncengake mung tatu sethithik ning rai lan gegere thok, amarga dheweke ora katut kejegur jurang. Dheweke kecantol wit secang nalika kontal saka sepedha motor.

Wis ana seminggu aku ngglethak ning rumah sakit. Lan wong sing paling sregep besuk mung Murni. Dheweke ngalah – ngalahi emak lan bapakku. Saben dina Murni mesthi teka, malah Bapak lan Ibuke uga melu najan mung khadangkala. Mangka pitung taun kepungkur ora tau sapa aruh marang aku. Malah dheweke tau ngusir aku nalika aku dolan ning omahe Murni. Ning saiki? Mungkin wae bapake Murni ngrumangsani yen anake sing marahi aku kacilakan.

Wis suwe, Mur?” aku tangi nalika krungu jangkahing sikil”

“ Ora , lagi wae kok” Murni njawab karo mbalang eseme.

“ Ijen?”

“ He eh. Ning aku mau ketemu Lik Jamin. Dheweke titip iki kanggo Mas Ali.”

Murni mbukak tase lan ngetokake bungkusan lan amplop putih marang aku.

“ Ana surate? Coba wacakke!”

Cepet Murni nyeleh bungkusane ning meja lan nyuwek amplop putih kang isih dicekeli.

Kanggo Ali kanca raketku. Sadurunge aku njaluk sepura. Terus terang wae dhuwit saka awakmu kae ora sida tak enggo ongkos berobate anakku. Sepisan maneh sepuranen aku. Dhuwit kuwi tak enggo tuku nomer nomboki plate motormu, lan persis metune. Mula saka iku sing rong puluh lembar tak kirimke awakmu. Muga – muga bisa kanggo tambah tuku obat. Saka aku Jamin

Mur, tulung jupukke bungkusan kuwi karo korekan ning chedake kuwi pisan!”

“ Korekan?” Murni takon sajak kaget banget. *

Selasa, 09 September 2008

Selasa, 26 Agustus 2008

Kenangan Tak Terlupakan


Hei..dimana you semua berada...coba kontak kontak yooo!