Kamis, 23 Oktober 2008

Orang - Orang Durhaka


Oleh : Alis Muntono
Cerpen ini adalah Cerpen kedua yang kutulis dalam Bahasa Indonesia. Terpaksa saya publikasikan lebih dulu karena dokumen cerpen yang pertama masih belum ketemu. Di muat di Majalah Liberty 1846, 1 – 10 Agustus 1994


Tidak! Aku tidak akan pernah membiarkan orang menghina Wartini istriku. Kalau masih bisa diingatkan aku akan mencoba memperingatkan mereka dengan menjelaskan bahwa yang dilakukan istriku bukanlah perbuatan kotor seperti yang mereka sangka. Tapi jika masih memandang rendah pada profesi Wartini aku tak segan-segan menampar mulutnya, menendang perutnya ataupun memukul dagunya; aku tak kan menyesal telah melakukan walau dia temanku sekalipun. Bukankah kemarin aku telah membikin babak bundas Paimin di terminal? Karena dia telah telah menyebut profesi istriku untuk yang ketiga kalinya didepan orang banyak, sedang aku telah memperingatkannya dua kali. Mungkin dia pikir aku tidak akan tega melakukan itu semua hanya karena dia sering memberiku rokok. Untung ada yang melerai perkelahian kami, kalau tidak mungkin kepala Paimin sudah kubuat berantakan dengan kunci inggris.
Wartini! Nama itu selalu memberiku gairah. Aku tidak akan pernah bosan menyebutnya setiap kali aku mulai mengayuh becak. Wartini adalah perempuan yang paling aku cintai dari sekian perempuan yang pernah terlahir di dunia ini setelah ibuku. Namun sayang sekali aku tidak dapat membahagiakannya. Dan setiap kali aku menyadari, segeralah datang bertubi-tubi penyesalan menyesakkan dadaku. Dada Supardi, seorang pengayuh becak yang selalu bernasib malang. Dan buntutnya, aku akan mengutuk diri sendiri karena telah menelantarkannya.
Seandainya waktu bisa diulang, tentu aku tidak akan melakukan apa yang telah aku lakukan sepuluh tahun yang lalu. Sebuah kesalahan besar telah aku buat dalam sejarah hidupku.
Pagi hari kira-kira pukul sembilan, Wartini mampir ke gubukku dalam perjalanan pulang dari mengantar sarapan untuk bapaknya yang juga sedang mencangkul diladang. Aku dibuat bingung karna tanpa kutahu sebab-musababnya tiba-tiba dia terisak. Tanpa mencabut cangkul yang masih tertancap ditanah, aku segera menyusulnya. Tapi begitu berada didekatnya aku tak dapat melakukan apa-apa. Bahkan sepatah katapun untuk menenangkannnya pun tak keluar dari kerongkonganku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus dan akan kulakukan, sehingga akhirnya dia berbicara juga walaupun masih terisak menangis.
“Kita takkan bisa bersama lagi kang.”
“Apa?”Aku semakin bingung.
“Kemarin Lik Suro melamarku. Maksudku melamarkan anaknya, Parman.”
”Ayahmu menerimanya?” tanyaku memastikan. Ya, tanpa dijawab pun aku telah tahu. Wartini Cuma menganggukkan kepalanya seolah dia tahu aku tak butuh jawabannya.
“Tidak War, itu tidak boleh terjadi. Aku takkan membiarkan kamu jatuh ketangan orang lain walaupun ayahmu memperbolehkan,” kataku lirih tapi kurasakan sendiri kemantapannya.
“Kang pardi mau melamarku juga?”
“Tidak itu bodoh namanya. Bukankah Ayahmu telah menerima Parman? Kita minggat saja dari kampung ini.”
“Apa?” Tanya Warti setengah menjerit.
”Cuma itu yang bisa kita lakukan, jika kita masih ingin bersama. Kita minggat dan memulai hidup dikota dengan bekerja apa saja, setelah beberapa tahun kemudian kita sowan keorang tuamu. Kita sungkem kepada mereka dan mempersembahkan seorang cucu yang lucu dan menggemaskan. Aku yakin mereka akan memaafkan kesalahan yang telah kita perbuat.”
Wartini terdiam sesaat mungkin sedang mencari kebenaran dari ucapanku.
“Aku tidak memaksamu War. Kau punya hak untuk menolak ajakanku jika memang itu terbaik untukmu.”
Wartini masih tetap diam. Tapi kini dia menatap tajam ke arahku. Aku merasa tatapan matanya menembus relung hatiku dan menanyakan kesungguhanku. Sesaat kemudian dia menganggukkan kepalanya dan berucap,”Baik kang aku ikut kamu.”
Tak terkira kegembiraanku saat mendengar keputusan yang kuanggap paling baik itu. Sedikit pun aku tidak m,engira bahwa keputusan Wartini itu sangat kusesali di kemudian hari.
Berbekalkan uang hasil penjualan seekor sapi satu-satunya harta yang kumiliki, hasil keringatku buruh angon selama dua tahun sama Dhe Marto, kami berangkat meninggalkan desa kelahiran, Aku sedih juga walaupun sudah tak ada siapa-siapa lagi yang memberatkan hati untuk pergi selain makam kedua orang tuaku. Aku sudah tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi sejak aku berusia sepuluh tahun. Sejak ayahku menyusul ibu yang meninggal karena melahirkan aku. Mereka tidak meninggalkan apa-apa selain nama Supardi yang hingga kini masih kupakai. Ayah telah menghabiskan semuanya di meja judi dan di kamar-kamar perempuan binal.
Tahun-tahun permulaan telah dapat kurasakan suasana kota yang tidak bersahabat. Pekerjaan yang benar-benar kami harapkan tak kunjung kudapat, sementara perut-perut kami minta untuk diisi setiap hari. Berangsur-angsur uang bekal kami dari kampung. Menipis. Penghasilan dari hasil menjadi kuli batu tidak banyak membantu. Kami terus saja merasa kekurangan walau telah membanting tulang mulai dari pagi hingga petang bahkan kadang-kadang sampai malam. Keadaan kami tetap tidak berubah sampai akhirnya seseorang menawariku sebuah becak untuk kusewa sekaligus kubeli.
Cobaan demi cobaan datang menimpa silih berganti. Tak terasa usia perkawinan kami yang tak direstui telah mencapai dua tahun. Kami mulai digelisahkan oleh tidak adanya tanda-tanda akan lahir seorang bayi dari rahim Wartini. Padahal sebenarnya kami harus bersyukur karena seandainya ada bocah di tengah-tengah kami akan semakin membuat bertambah tinggi uang yang kami butuhkan. Tapi karena tuntutan batin dan keinginan untuk hidup seperti layaknya sebuah keluarga, kami tak bisa pungkiri keinginan untuk menggendong seorang bocah. Dan bukankah itu juga merupakan salah satu kenginan yang pernah aku lontarkan kepada Wartini dulu?
Penderitaan belun berakhir. Pada suatu malam, saat aku pulang karena telah larut malam ; sebuah hiace putih menabrakku, menghancurkan becak yang belum lunas. Dan yang paling menyakitkan lagi mobil keparat itu tidak peduli dengan nasibku. Dia langsung kabur begitu selesai membuatku bersimbah darah terkapar tak sadarkan diri. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain terkapar. Ya, aku benar-benar terkapar selama hampir enam bulan penuh. Dan selama itu pula tubuhku tak tersentuh oleh tangan seorang dokter.
Enam bulan bukanlah waktu yang singkat untuk sekedar berbaring makan dan tidur. Dalam keadaan seperti itu tak sedikit pun terlintas dalam benakku betapa sulit dan sakitnya Wartini merawat dan menghidupiku. Sedang seorang lelaki seperti akupun merasa berat melakukannya. Aku baru sadar setalah mendengar pengakuan Wartini atas kebohongan yang selama ini telah aku percayai sepenuhnya. Wartini telah melacur. Begitu mendengar pengakuannya sebuah tamparan keras kulayangkan ke pipinya. Setelah itu aku terdiam, bingung. Aku tak tahu apa yang sedang berkecamuk di benakku saat itu. Aku baru sadar akan kesalahanku setelah tak kusaksikan butiran bening keluar dari kedua bola matanya. Sedang aku tahu betul betapa halus dan betapa tak dapat disakiti hatinya. Wartini akhirnya terisak pula setelah aku memeluk, menangis dan memohon maaf padanya.
Sejak itu aku selalu berusaha untuk tidak membuatnya sedih. Aku turuti keinginannya sejauh aku bisa memenuhinya. Bahkan aku mengabulkan permintaan untuk mendapatkan seorang bocah dari benih laki-laki lain. Tak ada pilihan karena ternyata aku benar-benar tak mampu. Supardi tak lagi segesit dan sekuat dulu lagi. Supardi tak dapat lagi membecak sepanjang siang, Supardi telah pincang.
**
“Becaknya nganggur?” Tanya seorang lelaki tua mengejutkanku yang sedang terkantuk-kantuk menunggu datangnya rezeki. Aku tertegun sesaat. Ah…tidak aku tidak akan pernah lupa wajah tua yang ada dihadapanku ini. Walau warna putih rambut dan keriput wajahnya membawa banyak perubahan.
“Bisa mengantar saya Cak?” ulangnya melihat aku hanya termangu.
“ O..eh, iya. Bisa Pak, kemana?”
“ Apotik Mahkota berapa?”
“Limaratus,” jawabku pendek.
“Siapa yang sakit pak?” tanyaku setelah beberapa meter meninggalkan tempat semula .
“ Istri saya Cak. Sudah tiga minggu ngamar disini.”
“Bapak bukan orang daerah sinikan?” aku bertanya memancing sekaligus memastikan.
“Saya dari Blora, Jawa Tengah. Disana peralatan belum memadai. Jadi ya… dibawa kesini.”
Aku semakin yakin jati diri lelaki tua ini, tetapi semaki tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kesempatan ini telah lama sekali kutunggu. Tapi sayang tak ada keberanian dihatiku. Dan memang ini juga yang menjadi penyebab kandasnya keinginanku dan Wartini.
“Di dekat sini ada WC umum nggak Cak?”
Akhirnya terbuka juga jalan keluar. Aku tidak akan sia-siakan kesempatan ini.”Ada pak, tapi harus mutar kembali,” aku diam sejenak untuk menenangkan debur jantungku yang tak menentu,
“Kalau bapak tidak keberatan, bagaimana kalau mampir kerumah saya saja.”
Cepat kuseberangkan becakku ke sebelah kanan dan kemudian masuk ke gang dua setelah laki-laki tua itu menerima tawaranku. Semakin dekat dengan rumahku aku semakin gugup. Ah, biarlah terjadi apa yang semestinya terjadi.
“Mari Pak, silakan masuk.”
Laki-laki itu tidak menjawab ajakanku, dia malah menatap tajam ke arahku. Sudah tahukah siapa sebenarnya aku?
“Mari pak!” aku mengulangi ajakanku yang kedua kalinya. Sambil melangkahkan kaki mendahuluinya. Sejenak kulihat keterkejutan di wajahnya sebelum menjawab, ya.
Begitu memasuki rumah aku melepas capil dan kacamata yang mungkin telah membuatnya lupa siapa aku.
“Masih ingat saya Pak?” dengan suara serak dan gemetar aku bertanya.
Laki-laki itu kembali memandang tajam seperti tadi dan tiba-tiba rona wajahnya berubah, merah seolah seperti akan membakar kedua matanya yang menatapnya dengan tatapan sayu.
“Supardi?!... Bajingan kau!”
Begitu dia selesaikan kalimatnya secepat itu pula aku jatuhkan tubuhku kelantai dan mencium kakinya.
“Mana anakku keparat?!” dengan suara menggelegar dia membentakku.
“Kang Pardi ya didepan?” Wartini bertanya dari belakang. Dia pasti mendengar keributan yang terjadi.
“Ada apa Kang?”
Aku yakin Wartini terkejut melihatku bersimpuh dibawah kaki seseorang yang mungkin telah dia lupakan.
“Kau Wartini?!... Bukankah kau yang semalam…”

2 komentar:

  1. aku dikirimi cerpenmu seng liyane Lis.

    BalasHapus
  2. Di...cerpen sing annyar ga duwe blas..wis. Aku wsi suwe ga produktif maneh..! Selama ning tarakan iki mung isa gawe 3 we..iki wae sik rung sempat ketik ulang..!

    BalasHapus